Percaya diri, satu kata yang tepat untuk
kita letakkan di dada Presiden Soekarno. Terlalu banya catatan kecil
dimana Presiden Soekarno mendobrak Protokoler International untuk
mengikuti Protokoler ala Soekarno. Jangankan hanya di Negara kelas 3,
Amerikapun harus mampu menekan dada atas dobrakan yang dilakukan oleh
Presiden Soekarno. Maka tak heran apabila setiap kunjungan kenegaraan
keberbagai Negara sosok Presiden Soekarno selalu menjadi Head Line news.
Tak terkecuali lembaga besar seperti PBB.
DENGAN baju kebesaran berwarna putih,
lengkap dengan kopiah dan kacamata baca, Bung Karno tidak mempedulikan
protokoler Sidang Umum.
Biasanya, setiap kepala negara berpidato
sendiri saja. Tetapi, untuk pertama kalinya, Bung Karno naik ke podium
didampingi ajudannya, Letkol (CPM) M Sabur. Lima tahun kemudian, per
tanggal 1 Januari 1965, Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari PBB.
Ia memrotes penerimaan Malaysia, antek kolonialisme Inggris, menjadi
anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK)-PBB. Ketika mendengar instruksi
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu dari PTRI New York, Sekjen PBB U
Thanh menangis sedih, tak menyangka BK begitu marah dan kecewa.
Bung Karno dikenal sering kecewa dengan
kinerja DK-PBB. Sampai sekarang pun kewenangan DK-PBB yang terlalu luas
masih sering terasa kontroversial. Misalnya, ketika mereka-terutama AS,
Inggris dan Perancis-bersama Sekjen Koffi Annan, menjatuhkan
sanksi-sanksi tak berperikemanusiaan atas Irak. Sudah lama memang Bung
Karno tidak menyukai struktur PBB yang didominasi negara-negara Barat,
tanpa memperhitungkan representasi Dunia Ketiga yang sukses unjuk
kekuatan dan kekompakan melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun
1955. Untuk itulah, setiap tahun Bung Karno coba mengoreksi ketimpangan
itu dengan memperjuangkan diterimanya Cina, yang waktu itu diisolasi
Barat.
“Kita menghendaki PBB yang kuat dan
universal, serta dapat bertugas sesuai dengan fungsinya. Oleh sebab
itulah, kami konsisten mendukung Cina,” kata Bung Karno. Wawasan
berpikir Bung Karno waktu itu ternyata benar. Cina bukan cuma lalu
diterima sebagai anggota, namun juga menjadi salah satu anggota tetap
DK-PBB. Puluhan tahun lalu, Bung Karno sudah memproyeksikan Cina sebagai
negara besar dan berpengaruh, yang harus dilibatkan dalam
persoalan-persoalan dunia. Dewasa ini, Cina sudah memainkan peranan
penting dalam mengoreksi perimbangan kekuatan regional dan
internasional, yang sudah terlalu lama dijenuhkan oleh penyakit yang
berjangkit Perang Dingin.
Kini hampir semua warga dunia sudah familiar dengan kata “globalisasi” atau saling keterkaitan (linkage) antar-bangsa, baik secara politis maupun ekonomis. Dan dalam pidato To Build the World Anew, Bung Karno sudah pernah mengucapkannya. “Adalah
jelas, semua masalah besar di dunia kita ini saling berkaitan.
Kolonialisme berkaitan dengan keamanan; keamanan juga berkaitan dengan
masalah perdamaian dan perlucutan senjata; sementara perlucutan senjata
berkaitan pula dengan kemajuan perdamaian di negara-negara belum
berkembang,” ujar Sang Putra Fajar.
Di mana pun di dunia, Bung Karno tak
pernah lupa membawakan suara Dunia Ketiga dan aspirasi nasionalisme
rakyatnya sendiri. Siapa pun yang tidak suka kepadanya pasti akan
mengakui sukses Bung Karno memelopori perjuangan Dunia Ketiga melalui
Konrefensi Asia-Afrika atau KTT Gerakan Nonblok. Inilah Soekarno yang
serius. Jika sedang santai dalam saat kunjungan ke luar negeri, Bung
Karno menjadi manusia biasa yang sangat menyukai seni. Kemana pun, yang
tidak boleh dilupakan dalam jadwal kunjungan adalah menonton opera,
melihat museum, atau mengunjungi seniman setempat. Hollywood pun
dikunjunginya, ketika Ronald Reagan dan Marilyn Monroe masih menjadi
bintang film berusia muda.
Ia pun tak segan memarahi seorang
jenderal besar jago perang, Dwight Eisenhower, yang waktu itu menjadi
Presiden AS dan sebagai tuan rumah yang terlambat keluar dari ruang
kerjanya di Gedung Putih dalam kunjungan tahun 1956. Sebaliknya, Bung
Karno rela memperpanjang selama sehari kunjungannya di Washington DC,
setelah mengenal akrab Presiden John F Kennedy. Waktu berkunjung ke AS,
banyak wartawan kawakan dari harian-harian besar di Amerika-mulai dari The New York Times, The Washington Post, LA Times, sampai Wall Street Journal-menulis
dan memuat pidato dan pernyataannya yang menggugah, foto-fotonya yang
segar, sampai soal-soal yang mendetail dari Bung Karno.
Kunjungan-kunjungannya ke luar negeri,
memang membuat Bung Karno menjadi tokoh Dunia Ketiga yang selalu menjadi
sorotan internasional. Sikapnya yang charming dan
kosmopolitan, kegemarannya terhadap kesenian dan kebudayaan,
pengetahuannya mengenai sejarah, bahasa tubuhnya yang menyenangkan,
mungkin menjadikan Bung Karno menjadi tamu agung terpenting di abad
ke-20, yang barangkali cuma bisa ditandingi oleh Fidel Castro atau JF
Kennedy.
PERUMUSAN politik luar negeri sebuah
negara yang baru merdeka setelah Perang Dunia Kedua, lebih banyak
dipengaruhi oleh kepala negara/pemerintahan. Mereka sangat
berkepentingan untuk menjaga negara mereka masing-masing agar tidak
terjerumus ke dalam persaingan ideologis dan militer Blok Barat melawan
Blok Timur. Lagi pula, netralitas politik luar negeri semacam ini waktu
itu berhasil menggugah semangat “senasib dan sepenanggungan” di
negara-negara baru Asia dan Afrika, untuk menantang bipolarisme
Barat-Timur melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Di Indonesia, peranan Bung Karno dalam
menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, jelas sangat
dominan sejak ia mulai memerintah sampai akhirnya ia terisolasi menyusul
pecahnya peristiwa Gerakan 30 September tahun 1965. Ia bahkan menjadi
salah satu founding father pembentukan Gerakan Nonblok (GNB)
sebagai kelanjutan dari Konferensi Bandung. Penting untuk digarisbawahi
pula, Bung Karno pada awalnya menjadi satu-satunya pemimpin Dunia Ketiga
yang dengan sangat santun menjalin serta menjaga jarak hubungan yang
sama dan seimbang, dengan negara-negara Barat maupun Timur.
Hubungan Bung Karno dengan Washington
pada prinsipnya selalu akrab. Akan tetapi, Bung Karno merasa dikhianati
dan mulai bersikap anti-Amerika ketika pemerintahan hawkish
Presiden Dwight Eisenhower mulai menjadikan Indonesia sebagai tembok
untuk membendung komunisme Cina dan Uni Soviet pada paruh kedua
dasawarsa 1950. Sewaktu Moskwa dan Beijing terlibat permusuhan ideologis
yang sengit, Bung Karno juga relatif mampu menjaga kebijakan berjarak
sama dan seimbang (equidistance) terhadap Cina dan Uni Soviet.
Lagi pula, Bung Karno dengan sangat
pandai menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Bobot
Indonesia sebagai negara yang besar dan strategis, peranan penting
Indonesia dalam menggagas GNB, dan posisi “soko guru” sebagai negara
yang baru merdeka, benar-benar dimanfaatkannya sebagai posisi tawar yang
cukup tinggi dalam diplomasi internasional. Oleh sebab itulah,
pelaksanaan politik luar negeri yang high profile ala Bung Karno, tidak pelak lagi, membuat suara Indonesia terdengar sampai ke ujung dunia.
Mengapa ia akhirnya kecewa kepada
Washington sehingga hubungan bilateral AS-Indonesia semakin hari semakin
memburuk? Sebab Bung Karno tahu persis sepak terjang AS-juga Inggris,
Australia dan Malaysia-ketika membantu pemberontakan PRRI-Permesta.
Lebih dari itu, setelah kegagalan pemberontakan itu, Pemerintah AS
memasukkan Bung Karno dalam daftar pemimpin yang harus segera
dilenyapkan karena menjadi penghalang containment policy Barat
terhadap Cina. Juga ada beberapa alasan domestik yang membuat Washington
kesal terhadap Bung Karno, seperti sikapnya kepada Partai Komunis
Indonesia (PKI).
Pada lima tahun pertama dekade 1960,
hubungan Indonesia dengan Cina meningkat pesat. Mao Zedong sangat
menghormati Bung Karno yang memberikan tempat khusus kepada komunis, dan
sebaliknya Bung Karno mengagumi perjuangan Mao melawan dominasi AS dan
Rusia di panggung internasional. Istimewanya hubungan Bung Karno dengan
Mao ini tercermin dari gagasan pembentukan Poros Jakarta-Beijing. Bahkan
kala itu poros ini sempat akan diluaskan dengan mengajak pemimpin Korut
Kim Il-sung, pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh, dan pemimpin Kamboja
Norodom Sihanouk.
Tatkala memutuskan untuk keluar dari PBB, Bung Karno mencanangkan pembentukan New Emerging Forces
sebagai reaksi terhadap Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Ia
juga bercita-cita membentuk sendiri forum konferensi negara-negara baru
itu di Jakarta, sebagai reaksi terhadap dominasi PBB yang dinilainya
terlalu condong ke Barat. Sungguh patut disayangkan, wadah kerja sama
Dunia Ketiga ini hanya sempat bergulir sampai pesta olahraga Ganefo
belaka.
***
SEPERTI telah disinggung di atas,
dominasi Bung Karno dalam perumusan politik luar negeri yang bebas dan
aktif, sangat dominan. Persepsi, sikap, dan keputusan Bung Karno dalam
mengendalikan diplomasi Indonesia, bersumber pada
pengalaman-pengalamannya dalam kancah perjuangan dan pembentukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Mungkin karena terlalu banyak krisis yang
dihadapi Bung Karno selama ia memimpin, membuat pelaksanaan politik luar
negerinya menjadi high profile dan agak bergejolak.
Akan tetapi, gejolak-gejolak tersebut,
juga sikap Bung Karno menghadapi politik Perang Dingin, tidak dapat
dikatakan sebagai sebuah kelemahan ataupun penyimpangan dari politik
luar negeri yang bebas aktif. Justru yang terjadi, Bung Karno senantiasa
mencoba menghadirkan gagasan-gagasannya tentang dunia yang damai dan
adil, dengan mengedepankan posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah
yang menyuarakan nasib Asia dan Afrika.
Penting pula untuk ditegaskan, perilaku
internasional Bung Karno pada kenyataannya memang berhasil mengangkat
derajat masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga dalam menghadapi kemapanan
politik Perang Dingin. Malahan jika menghitung akibatnya, ada
kekhawatiran besar di negara-negara adidaya terhadap internasionalisasi sukarnoism yang akan membahayakan posisi mereka.
Jika berbicara mengenai sumber-sumber
yang mempengaruhi “politik global” Bung Karno, sesungguhnya mudah untuk
memahaminya. Ia lahir dari persatuan antara dua etnis, Bali dan Jawa
Timur. Ia menikahi pula gadis dari Pulau Sumatera. Ia beberapa kali
dipenjarakan penjajah Belanda di berbagai tempat di Nusantara,
membuatnya mengenal dari dekat kehidupan berbagai
etnis. Pendek kata, ia lebih “Indonesia” ketimbang menjadi seorang yang “Jawasentris.”
etnis. Pendek kata, ia lebih “Indonesia” ketimbang menjadi seorang yang “Jawasentris.”
Dalam pandangan Bung Karno, dunia
merupakan bentuk dari sebuah “Indonesia kecil” yang terdiri dari
berbagai suku bangsa. Dan ini betul. Bung Karno seakan-akan membawa misi
untuk membuat agar semua bangsa berdiri sama tinggi dan setara di dunia
ini, sama dengan upayanya berlelah-lelah mempersatukan semua suku
bangsa menjadi Indonesia. Meskipun Indonesia cuma menyandang kekuatan
menengah, Bung Karno sedikit banyak memiliki sebuah “visi dunia” seperti
para pemimpin negara adidaya, yang waktu itu merupakan sebuah utopia
belaka.
Pengalaman pahit menghadapi penjajah
Belanda serta Jepang, merupakan sumber utama bagi Bung Karno untuk
membawa Indonesia menjadi anti-Barat di kemudian hari. Kebijakan
anti-komunisme yang dijalankan Barat untuk membendung pengaruh Uni
Soviet, menurut Bung Karno merupakan sebuah pemasungan terhadap sebuah
penolakan terhadap hak kesetaraan semua bangsa di dunia untuk bersuara.
Persepsi Bung Karno mengenai perjuangan GNB pun serupa, yakni
memberdayakan Dunia Ketiga untuk mengikis ketimpangan antara
negara-negara kaya dengan yang miskin.
Pada hakikatnya, wawasan Bung Karno
tentang perlunya memperjuangkan ketidakadilan internasional itu, masih
relevan dengan situasi politik dan ekonomi global saat ini. Entah sudah
berapa banyak dibentuk fora-fora kerja sama politik dan ekonomi
internasional, yang masih gagal menutup kesenjangan antara yang kaya
dengan yang miskin, seperti Dialog Utara-Selatan, atau G-15. Sampai saat
ini pun, PBB masih belum melepaskan diri dari genggaman
kepentingan-kepentingan negara-negara Barat di Dewan Keamanan.
***
ANDAIKAN saja Bung Karno tidak tersingkir
dari kekuasaan, apa yang sesungguhnya telah ia lakukan dalam ruang
lingkup politik global? Mungkin saja, satu-satunya kegagalan-kalaupun
itu layak disebut sebagai kegagalan-adalah
ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang “stabil” pada masa itu.
ingin menantang atau mengubah (to challenge) tata dunia yang “stabil” pada masa itu.
Stabilitas, atau equilibrium
global pada saat itu, suka atau tidak, diatur oleh perimbangan kekuatan
antara Barat dengan Timur. Kedua blok yang berseteru meyakini bahwa
perdamaian abadi hanya bisa dicapai dengan sebuah lomba senjata yang
seimbang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Pengaturan perimbangan kekuatan itu
bersifat pasti, matematis, dan mengamankan dunia dari ancaman
instabilitas. Itulah jadinya pembentukan NATO dan Pakta Warsawa, serta
perjanjian hot line dan anti-tes senjata nuklir antara JF
Kennedy dengan Nikita Kruschev. Stabilitas global AS-Uni Soviet inilah
yang juga menjamin peredaan ketegangan dan tercegahnya perang antara
Eropa Barat dengan Eropa Timur, antara Korut dan Korsel di Semenanjung
Korea, antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan di daratan Asia
Tenggara, dan antara Kuba dengan AS.
Pada prinsipnya, akan selalu ada pemimpin
yang ingin mengubah stabilitas semu semacam ini. Upaya-upaya yang
membahayakan kemaslahatan perimbangan kekuatan tersebut, akan selalu
menimbulkan krisis politik atau krisis militer. Bagi para penjamin
stabilitas, seorang Bung Karno memang hanya merupakan sebuah ancaman
yang akan menimbulkan krisis politik, bukan krisis militer. Oleh sebab
itulah perlu ditekankan sekali lagi, pihak-pihak Barat-khususnya AS dan
Inggris-sudah sampai pada kesimpulan bahwa Bung Karno mesti dilenyapkan.
Sayang sekali, inisiatif-inisiatif
diplomasi Bung Karno terhenti di tengah jalan saat ia diisolasi dari
kekuasaannya. Betapapun, banyak doktrin dari politik luar negeri yang
dijalankannya, dilanjutkan oleh para penggantinya. Warisan Bung Karno
bukan hanya menjadi diorama yang bagus dilihat-lihat, tetapi juga masih
kontekstual untuk zaman-zaman selanjutnya.
Tidak pada tempatnya bagi kita untuk menyesali politik
luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina-Indonesia-India juga lebih hebat dari politik global Bung Karno?
luar negeri Bung Karno, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru. Apakah kebijakan lebih buruk ketimbang politik luar negeri yang cuma mengemis-ngemis bantuan luar negeri? Apakah melepas Timor Timur juga merupakan kebijakan yang lebih baik? Apakah berwisata ke luar negeri tanpa tujuan, lalu mendengang-dengungkan poros Cina-Indonesia-India juga lebih hebat dari politik global Bung Karno?
Sesuai dengan julukan Sang Putra Fajar,
Bung Karno membuka matanya melihat terang benderang dunia saat fajar
menyising, tatkala sebagian dari kita masih terlelap menutup mata. Dunia
versi Bung Karno adalah dunia yang mutlak harus berubah menjadi tempat
yang lebih adil dan setara bagi semua. Kita pernah beruntung memiliki
seorang duta bangsa, yang sekaligus juga seorang diplomat terulung yang
pernah dimiliki Indonesia.
Sebagai penerus sejarah bangsa ini, kita
hanya mampu bertanya “Apakah masih mungkin akan terlahir kembali sosok
pemimpin yang setara Bung Karno.” Jawabnya ada dibalik sejarah yang akan
kita jelang.
KUNJUNGI BLOG
ReplyDeletehttp://penasoekarno.wordpress.com